Powered by Blogger.
Home » » Aroganisme Fenomena Universal dalam Masyarakat

Aroganisme Fenomena Universal dalam Masyarakat

Written By Suheryana Bae on Thursday, April 18, 2024 | 4:49 PM

 



Memahami Aroganisme

Dalam dimensi ruang dan waktu yang beragam dan kompleks, aroganisme sering kali muncul sebagai bayang-bayang yang mencolok, merusak ikatan sosial dan menghancurkan fondasi solidaritas. Aroganisme, adalah sikap meremehkan dan tidak menghargai kehadiran serta kontribusi orang lain, melekat dalam setiap lapisan masyarakat, melintasi segala jenis batas dan kategori. Padahal, setiap manusia memiliki kelebihan dan kontribusi terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Sekaligus juga memiliki kelemahan atau kekurangan yang ditutupi oleh kelebihan orang lain.

 

Pemicu Aroganisme

Aroganisme, atau sikap sombong dan angkuh yang sering muncul dalam interaksi kita sehari-hari, seringkali bermula dari beberapa hal seperti rasa tidak puas dan tak aman dalam diri. Perilaku ini seperti sebuah penyakit yang meluas, meresap dan mempengaruhi cara kita berhubungan dengan orang lain. Ego yang besar dan kuat, misalnya, seringkali menjadi semacam tameng yang kita gunakan untuk melindungi diri dari rasa takut akan ditolak atau mengalami kegagalan. Kita menggunakan arogansi untuk menjaga jarak dan menjaga diri dari rasa sakit yang mungkin muncul. Di sisi lain, ketika kita tidak memiliki empati atau kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, permasalahan arogansi ini bisa menjadi lebih buruk. Menjadi lebih sulit untuk memahami dan menghargai perasaan serta pengalaman yang dilalui oleh orang lain. Sikap sombong dan angkuh tidak hanya merusak hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga merusak cara kita melihat dan menghargai mereka sebagai individu. Memahami ini merupakan langkah penting untuk menciptakan interaksi yang lebih sehat dan positif dalam masyarakat kita.Spektrum Aroganisme dalam Berbagai Kalangan

Penguasa yang arogan sering kali jatuh ke dalam jebakan otoriter dan menentang suara rakyat, yang pada gilirannya menciptakan suasana yang represif dan menindas, merusak fondasi demokrasi. Penguasa dengan sifat ini umumnya menolak kritik, meremehkan masukan, dan sering melangkah seakan-akan kebijakan dan keputusan mereka adalah satu-satunya yang benar dan sah. Seringkali, beroperasi dengan keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki pengetahuan dan otoritas untuk mengatur dan memimpin, mengabaikan suara-suara lain yang mungkin menyampaikan pandangan dan solusi alternatif. Sikap ini tidak hanya merusak hubungan dengan yang dipimpin, tetapi juga merintangi kemampuan penguasa untuk belajar dan berkembang dari feedback dan ide-ide baru.

Dengan memiliki kekayaan yang melimpah, beberapa orang kaya bisa menjadi arogan, meremehkan mereka yang tidak mampu, dan bahkan menciptakan jurang kelas sosial yang dalam dan lebar. Mentalitas ini bisa membawa keyakinan bahwa memiliki harta berarti berhak mendapatkan hak istimewa untuk mengontrol dan menentukan aturan dalam masyarakat. Menganggap bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan atau kemalasan individu, bukan sebagai hasil dari sistem yang tidak merata. Dengan asumsi bahwa keberhasilan dan kekayaan yang mereka capai sepenuhnya hasil dari kerja keras pribadi, mereka merasa berhak mendapatkan semua fasilitas dan pengakuan tanpa harus mempertimbangkan faktor-faktor eksternal atau keberuntungan yang mungkin telah membantu mereka mencapai posisi tersebut.

Berada di bawah kilauan sorotan media dan diliputi oleh kekayaan, selebriti mengembangkan sikap arogansi yang ditandai dengan perilaku meremehkan dan sifat yang egosentrik. Seolah-olah berada dalam dunia tersendiri, yang terisolasi dari realitas masyarakat sekitarnya dan bahkan, pada beberapa kasus, tampaknya mengembangkan kehidupan diluar batasan-batasan norma dan etika.

Di satu sisi, orang-orang yang miskin atau terpinggirkan juga dapat menunjukkan tingkah laku arogan sebagai suatu mekanisme pertahanan, atau bahkan sebagai cara untuk mencari pengakuan dan legitimasi di dalam masyarakat yang sering kali mengesampingkan mereka. Sikap arogan merupakan baju zirah, sebuah upaya untuk melindungi diri dari stigma dan pandangan meremehkan. Bisa juga diartikan sebagai sebuah cara untuk menonjolkan eksistensi dalam masyarakat yang terkadang lupa akan keberadaan dan hak-hak mereka.

Sedangkan bagi mereka yang terpinggirkan, arogansi bisa menjadi sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, bisa menjadi alat simbolis untuk melawan penindasan dan diskriminasi yang dialami, sebuah cara untuk menegaskan diri di hadapan sistem yang seringkali mengabaikan suara dan kebutuhan mereka. Melalui arogansi, mencoba mengkomunikasikan suatu pesan bahwa tentang hak untuk  dihargai dan diperlakukan secara adil, serta tidak bisa hanya dengan mudah diinjak-injak oleh yang berkuasa.

Aroganisme generasional mengungkapkan diri melalui variasi sikap dan prasangka antargenerasi yang cukup kompleks dan seringkali menegangkan. Orang tua, dengan segudang pengalaman hidup mengembangkan sudut pandang yang menyatakan bahwa mereka mengenggam kebijaksanaan yang tak terbandingkan. Mereka mungkin melihat diri mereka sebagai pustaka yang berisi pengetahuan tak terhingga dan pandangan hidup yang telah teruji oleh waktu, sehingga membuat mereka merasa bahwa perspektif dan pendekatan mereka lebih bernilai dibandingkan dengan ide-ide generasi muda. Sikap meremehkan ini bisa menciptakan perasaan tidak dihargai dan dilecehkan di kalangan generasi yang lebih muda.

Di lain pihak, generasi muda, dengan kecenderungan untuk menerapkan perubahan dan merevolusi cara-cara konvensional, mencari validasi melalui resistensi mereka terhadap norma-norma dan metode-metode yang dianut oleh orang tua. Dengan energi baru, akses terhadap teknologi, dan perspektif yang lebih sinkron dengan dunia yang terus berubah, generasi muda merasa bahwa generasi tua ketinggalan zaman dan tidak dapat sepenuhnya memahami atau menghargai urgensi dan relevansi permasalahan serta solusi kontemporer. Sikap arogan ini bisa berasal dari ketidakbersediaan untuk mencerna dan menghargai pengalaman dan pengetahuan yang bisa dibagikan oleh generasi tua.

Kedua perspektif ini, yang masing-masing mengandung unsur arogansi, dapat menciptakan jurang pemahaman yang lebar dan menghambat transfer pengetahuan dan pengalaman intergenerasional yang berharga.

Berbagai kelompok lain, seperti profesional dan akademisi, mungkin juga merasa bahwa perspektif dan metodologi mereka lebih berharga, membatasi kerjasama dan diskusi interdisipliner.

 

Merajut Kembali Kebersamaan dengan Empati

Menghadapi monster aroganisme memerlukan satu kata kunci yaitu empati. Untuk melawan sikap tak peduli dan menganggap diri superior, penting bagi kita untuk sesekali menggunakan sepatu orang lain, mencoba memahami dan menghargai perspektif lain. Hanya dengan mengakui dan menghargai keragaman, kita dapat membangun masyarakat yang inklusif, di mana setiap suara dihargai dan setiap pengalaman diperhitungkan. Sebuah kerendahan hati dalam setiap langkah menuju masyarakat yang harmonis dan saling menghargai. Tidak hanya keberanian untuk berbicara, tetapi juga kemauan untuk mendengarkan.

0 comments :

Post a Comment