Dimensi waktu merupakan salah satu aspek fundamental dalam kehidupan manusia. Kehadirannya tidak hanya mengatur ritme kegiatan sehari-hari, tetapi juga membentuk struktur sosial, psikologis, dan eksistensial kita. Dalam konteks ini, pentingnya waktu bisa dirasakan secara akut ketika kita kehilangan akses terhadap indikator-indikator alamiahnya, seperti sinar matahari, bulan, atau pergantian antara siang dan malam.
Pada kondisi seperti berada di kamar
hotel tertutup yang tidak terkena sinar matahari atau rembulan, manusia
cenderung kehilangan pegangan atas rutinitas sehari-hari. Hal ini bukan hanya
berdampak pada aspek fisiologis seperti siklus tidur, tetapi juga pada aspek
psikologis dan sosial. Tanpa adanya penanda waktu alamiah, manusia bisa
mengalami kesulitan dalam mempertahankan pola makan, ibadah, tidur, dan
aktivitas lainnya dalam kerangka waktu yang teratur. Kehilangan kesadaran pola
rutin dan arah demikian, menunjukkan
betapa terintegrasi dan tergantungnya kita pada dimensi waktu dalam menjalankan
kehidupan.
Kehilangan akses terhadap dimensi
waktu bukan hanya membuat kita kehilangan pegangan atas rutinitas, tetapi juga
mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Manusia membutuhkan struktur dan
keteraturan untuk menjaga kesehatan mental. Tanpa keteraturan, bisa timbul
perasaan kehilangan arah, stres, hingga gangguan psikologis lebih serius
seperti depresi atau gangguan kecemasan. Munculnya perasaan-perasaan tersebut, menunjukkan
bahwa waktu tidak hanya penting dalam konteks fisiologis dan praktis, tetapi
juga dalam mempertahankan stabilitas emosional dan psikologis.
Dalam era modern, di mana kehidupan
sering kali terasa berjalan dengan kecepatan yang meningkat, penting untuk
mengingat dan menghargai peran waktu. Bukan hanya tentang mengukur detik,
menit, dan jam, tapi juga tentang penghargaan terhadap momen, kesadaran akan
perubahan, dan penghormatan terhadap ritme alami yang mengatur eksistensi.
Menghadirkan kembali kesadaran tentang waktu dalam kehidupan kita, terutama
ketika kita terputus dari indikator alamiahnya, bukan hanya tantangan, tapi
juga kesempatan untuk mendefinisikan kembali hubungan kita dengan diri sendiri,
dengan orang lain, dan dengan alam semesta.
Kata kitab suci :
“Demi waktu,
Sungguh manusia berada dalam keadaan merugi
Kecuali orang yang beriman, beramal sholeh dan saling
menasehati dalam kebaikan”
0 comments :
Post a Comment