Di sudut kota kecil, di komplek perumahan berdinding yang masih baru, aku berdiri sebagai saksi hidup atas generasi baru yang tumbuh dan berkembang. Sebagai seorang abdi negara, rumah ini menjadi pelabuhan hatiku setelah berjuang di kala siang.
Kelopak matahari mungkin
sudah beberapa kali menutup dan membuka sejak aku menempati hunian ini, namun
tetap saja, aku adalah satu-satunya pohon tua di hutan yang sedang bertumbuh.
Pasangan-pasangan muda dengan cahaya keceriaan di matanya, beberapa mahasiswa
dengan semangat juang yang membara, dan ada juga beberapa orang tua yang
mungkin saja sedang menikmati senja dalam hidupnya.
Namun, apa yang paling
menggetarkan hatiku adalah mesjid kecil di tengah-tengah perumahan ini. Setiap
kali waktu sholat tiba, suara langkah kecil selalu berhasil menyeruak ke
telingaku. Anak-anak dengan kaki mungil yang belum lama belajar berjalan, hingga
mereka yang mungkin saja baru saja masih kelas 3-4 Sekolah Dasar, semuanya
hadir dengan riang gembira. Ruang sholat menjadi penuh dengan gelak tawa,
bisikan, dan keriuhan kecil yang selalu berhasil menghangatkan hati.
Duduk di barisan
terdepan, setelah selesai sholah aku sering kali menoleh ke samping kiri dan
kanan, menatap wajah-wajah mungil itu. Aku merasakan sebuah kebahagiaan yang
tak terhingga, sebuah kesenangan yang tiada tara. Mesjid kecil itu bagai
lukisan yang hidup, dengan aku sebagai pohon tua yang berdiri tegak,
dikelilingi oleh tunas-tunas muda yang siap menghijaukan bumi ini.
Namun, apabila ditanya,
apakah aku ingin kembali ke masa muda? Dengan spontan dan penuh
keyakinan, aku akan tersenyum dan berkata, "Tidak." Aku telah
menikmati masa mudaku, dan kini saatnya bagi mereka, tunas-tunas muda ini,
untuk menari di panggung kehidupan. Aku puas menjadi penonton, menyaksikan
generasi baru ini tumbuh dan berkembang. Mengisi kehidupan sesuai zamannya.
Di tengah ketidakpastian zaman yang
kerap membayangi, saat masa depan menjadi lembaran putih yang belum tergores,
aku meneguhkan diri. Tak ada yang tahu bagaimana angin besok akan bertiup,
apakah lembut membelai wajah atau tajam menusuk jiwa. Namun, ada satu hal yang
pasti: keberanianku untuk berdiri di hadapan hari esok. Sebagai manusia yang
telah memutuskan untuk melihat dunia dengan mata hati, kehidupan duniawi dan
segala kejarannya telah kuputuskan untuk kuakhiri. Bukan berarti aku berhenti
beraktivitas, namun prioritas telah bergeser. Aku lebih memilih untuk menabur
benih kebaikan, untuk merawat spiritualitasku, dan untuk melakoni hari-hari
dengan tindakan-tindakan yang membawa kebahagiaan bagi diriku dan orang-orang
di sekitarku. Kesederhanaan menjadi pilihan, dan kedamaian hati menjadi kompas.
Sebab, dalam kesederhanaan dan kedamaian, aku menemukan kekayaan yang tak
ternilai. (SB)
Di sudut kota kecil, di
komplek perumahan berdinding yang masih baru, aku berdiri sebagai saksi hidup
atas generasi baru yang tumbuh dan berkembang. Sebagai seorang abdi negara,
rumah ini menjadi pelabuhan hatiku setelah berjuang di kala siang.
Kelopak matahari mungkin
sudah beberapa kali menutup dan membuka sejak aku menempati hunian ini, namun
tetap saja, aku adalah satu-satunya pohon tua di hutan yang sedang bertumbuh.
Pasangan-pasangan muda dengan cahaya keceriaan di matanya, beberapa mahasiswa
dengan semangat juang yang membara, dan ada juga beberapa orang tua yang
mungkin saja sedang menikmati senja dalam hidupnya.
Namun, apa yang paling
menggetarkan hatiku adalah mesjid kecil di tengah-tengah perumahan ini. Setiap
kali waktu sholat tiba, suara langkah kecil selalu berhasil menyeruak ke
telingaku. Anak-anak dengan kaki mungil yang belum lama belajar berjalan, hingga
mereka yang mungkin saja baru saja masih kelas 3-4 Sekolah Dasar, semuanya
hadir dengan riang gembira. Ruang sholat menjadi penuh dengan gelak tawa,
bisikan, dan keriuhan kecil yang selalu berhasil menghangatkan hati.
Duduk di barisan
terdepan, setelah selesai sholah aku sering kali menoleh ke samping kiri dan
kanan, menatap wajah-wajah mungil itu. Aku merasakan sebuah kebahagiaan yang
tak terhingga, sebuah kesenangan yang tiada tara. Mesjid kecil itu bagai
lukisan yang hidup, dengan aku sebagai pohon tua yang berdiri tegak,
dikelilingi oleh tunas-tunas muda yang siap menghijaukan bumi ini.
Namun, apabila ditanya,
apakah aku ingin kembali ke masa muda? Dengan spontan dan penuh
keyakinan, aku akan tersenyum dan berkata, "Tidak." Aku telah
menikmati masa mudaku, dan kini saatnya bagi mereka, tunas-tunas muda ini,
untuk menari di panggung kehidupan. Aku puas menjadi penonton, menyaksikan
generasi baru ini tumbuh dan berkembang. Mengisi kehidupan sesuai zamannya.
Di tengah ketidakpastian zaman yang
kerap membayangi, saat masa depan menjadi lembaran putih yang belum tergores,
aku meneguhkan diri. Tak ada yang tahu bagaimana angin besok akan bertiup,
apakah lembut membelai wajah atau tajam menusuk jiwa. Namun, ada satu hal yang
pasti: keberanianku untuk berdiri di hadapan hari esok. Sebagai manusia yang
telah memutuskan untuk melihat dunia dengan mata hati, kehidupan duniawi dan
segala kejarannya telah kuputuskan untuk kuakhiri. Bukan berarti aku berhenti
beraktivitas, namun prioritas telah bergeser. Aku lebih memilih untuk menabur
benih kebaikan, untuk merawat spiritualitasku, dan untuk melakoni hari-hari
dengan tindakan-tindakan yang membawa kebahagiaan bagi diriku dan orang-orang
di sekitarku. Kesederhanaan menjadi pilihan, dan kedamaian hati menjadi kompas.
Sebab, dalam kesederhanaan dan kedamaian, aku menemukan kekayaan yang tak
ternilai. (SB)
0 comments :
Post a Comment