Jalan pagi di
"dalam" Jakarta mengungkap kontras sosial yang mencolok, di mana
kemiskinan dan kemewahan, kesederhanaan dan keberlimpahan berpadu dalam lanskap
urban. Perjalanan ini membawa saya ke gang-gang sempit dan kumuh di jantung
kota, di mana bau menyengat dari selokan dan limbah domestik menjadi simbol
perjuangan harian penduduknya. Di sini, kehidupan berjalan dengan ritme yang
keras, tempat harapan dan keputusasaan berdampingan.
Tidak jauh
dari kekumuhan ini, terdapat perumahan kelas menengah yang menampilkan kontras
menarik. Rumah-rumah sederhana berdampingan dengan beberapa bangunan mewah
empat lantai yang menonjolkan kemegahan dan wibawa. Struktur ini mencerminkan
kesenjangan sosial, memperlihatkan bagaimana kemewahan dan kesederhanaan hidup
berdampingan, terpisah hanya oleh pagar.
Namun, yang
mencolok adalah keheningan yang menyelimuti area ini, sepi dari kehadiran warga
perumahan. Menimbulkan pertanyaan reflektif tentang esensi rumah itu sendiri.
Mengapa membangun istana jika hanya sebagai tempat peristirahatan sesaat.
Kenyataan ini menggugat logika pemborosan dalam membangun rumah mewah dengan
biaya miliaran rupiah, sementara rumah yang nyaman dan memadai bisa dibangun
dengan biaya yang jauh lebih rendah. Bagi warga dengan penghasilan moderat,
biaya miliaran untuk sebuah rumah bukan hanya pemborosan tetapi juga sebuah
mimpi yang tak terjangkau.
Membangun
rumah mewah dengan biaya miliaran rupiah memang menunjukkan status dan
keberhasilan, tetapi bayangkan potensi positif jika sebagian dana tersebut
dialokasikan untuk tujuan sosial. Jika sebagian dari dana pembangunan istana
digunakan untuk menyekolahkan anak-anak kurang mampu, memberikan mereka akses
ke pendidikan berkualitas dan peluang untuk mengubah masa depan mereka. Atau,
mengalokasikannya untuk mendukung pengembangan ekonomi keluarga berkekurangan,
memberikan modal usaha kecil atau pelatihan keterampilan yang dapat
meningkatkan kesejahteraan mereka secara berkelanjutan. Lebih jauh lagi,
mendanai kegiatan spiritual atau komunitas untuk memperkuat nilai-nilai
kebersamaan dan spiritualitas, memperkaya kehidupan sosial dan rohani. Dengan
cara ini, kekayaan bisa berkontribusi tidak hanya pada pembangunan fisik tetapi
juga pada pembangunan sosial dan spiritual, menciptakan dampak positif yang
jauh lebih luas dan mendalam bagi masyarakat.
Refleksi ini
memaparkan tentang kesenjangan sosial dan ekonomi di Jakarta. Perjalanan pagi lebih
dari sekedar melintasi jalanan kota, juga merupakan perjalanan pemikiran
mendalam tentang nilai, kebutuhan, dan keadilan sosial dalam masyarakat.
Jakarta, dengan semua kontrasnya, menjadi guru tentang keragaman,
ketidaksetaraan, dan peluang untuk memahami lebih dalam apa yang benar-benar
berarti bagi kita sebagai individu dan sebagai bagian dari komunitas yang lebih
besar.
0 comments :
Post a Comment