Inilah abad disrupsi. Sebuah era di mana perubahan terjadi begitu cepat, memaksa setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Kita, para orang tua, menghadapi realitas yang sangat berbeda dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Perubahan ini tidak hanya memengaruhi teknologi, tetapi juga budaya, cara hidup, bahkan hubungan antara orang tua dan anak.
Dalam beberapa dekade terakhir, pola komunikasi antara
orang tua dan anak telah berubah drastis. Dahulu, ketika orang tua berbicara,
anak-anak mendengarkan dengan penuh hormat. Bahkan jika mereka tidak setuju,
respons mereka biasanya berupa diam atau mencari tempat lain untuk menenangkan
diri, seperti pergi ke rumah kakek-nenek untuk mengadu. Namun, situasi tersebut
telah berubah di era digital sekarang.
Saat ini, anak-anak sering kali lebih sibuk dengan
perangkat mereka daripada mendengarkan orang tua. Ketika orang tua mencoba
mengajak berbicara, sering kali mereka menghadapi layar smartphone yang menyita
perhatian. Jika orang tua mencoba menegur, respons anak bisa sangat beragam,
mulai dari diam saja, membalas dengan kata-kata, hingga reaksi yang sulit
diprediksi. Pola perilaku ini menunjukkan betapa teknologi telah mengubah
interaksi keluarga secara fundamental. Tantangan
baru ini membuat upaya menjalin relasi humanis dalam keluarga menjadi sulit.
Selain perubahan dalam hubungan keluarga, disrupsi juga
terjadi di berbagai aspek kehidupan. Dahulu, pendidikan formal di sekolah
menjadi satu-satunya cara utama untuk memperoleh ilmu. Namun, kini, dengan
hadirnya platform belajar online seperti YouTube atau podcast edukatif,
anak-anak dapat belajar kapan saja dan di mana saja. Guru tidak lagi menjadi
satu-satunya sumber ilmu; peran mereka bergeser menjadi fasilitator yang
membimbing siswa dalam memanfaatkan berbagai sumber belajar.
Profesi tradisional seperti pegawai bank atau kasir
supermarket mulai tergantikan oleh teknologi. Mesin ATM, aplikasi perbankan,
dan kasir otomatis telah mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Di
sisi lain, muncul profesi baru seperti pengembang aplikasi, content creator,
dan petualang digital yang menghasilkan uang yang sebelumnya tak terbayangkan.
Sistem belanja konvensional di pasar atau toko fisik
mulai tergeser oleh e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, dan Amazon. Kebiasaan
konsumen berubah drastis, dari berbelanja langsung ke toko menjadi memesan
barang secara online. Perubahan ini menawarkan kemudahan tetapi juga menantang
pelaku usaha kecil untuk ikut beradaptasi.
Kehadiran aplikasi transportasi online seperti Gojek dan
Grab telah mengubah cara masyarakat bepergian. Dahulu, orang harus berjalan kaki,
menunggu angkutan umum atau memesan taksi dengan cara tradisional. Kini, hanya
dengan aplikasi di ponsel, kendaraan bisa datang langsung ke depan rumah,
memberikan kenyamanan yang belum pernah ada sebelumnya.
Dulu, orang menonton televisi, pergi ke bioskop atau
mendengarkan radio untuk hiburan. Namun, kini platform seperti Netflix,
Spotify, dan YouTube telah mengubah cara orang menikmati hiburan. Hiburan kini
lebih personal, dapat dipilih sesuai selera, dan dapat diakses kapan saja tanpa
batasan waktu.
Dalam menghadapi abad disrupsi ini, adaptasi menjadi
kunci. Rumusnya adalah beradaptasi atau tersingkir dari kehidupan kekinian.
Orang tua perlu lebih fleksibel dalam memahami kebutuhan anak di era digital.
Alih-alih melarang penggunaan teknologi, orang tua dapat mencoba mengarahkan
penggunaannya ke arah yang positif.
Abad disrupsi adalah kenyataan yang tak terhindarkan.
Perubahan terjadi di segala aspek kehidupan, dari hubungan keluarga,
pendidikan, hingga dunia kerja. Sebagai individu, kita ditantang untuk tetap
relevan dan mampu beradaptasi. Dengan memahami dan memanfaatkan perubahan ini
secara bijak, kita dapat menghadapi tantangan abad disrupsi dengan lebih
optimis dan siap.
0 comments :
Post a Comment