Dalam era digital saat
ini, YouTube dan media sosial lainnya menjadi jendela dunia yang memperlihatkan
berbagai potret kehidupan manusia. Tayangan tentang kemewahan dan kekayaan
berlimpah sering kali berdampingan dengan gambaran kehidupan yang penuh keterbatasan
dan kemiskinan. Kontras yang mencolok ini menciptakan paradoks yang mengusik
kesadaran atau teror ka Putu Wijaya.
Di satu sisi, kita
melihat kehidupan yang bergelimang kemewahan. Mobil-mobil mewah berjejer di
garasi yang luas, kapal pesiar dengan fasilitas megah bahkan kolam renang di
dalmnya, jam tangan berharga miliaran rupiah, serta tas dan pakaian dari merek
ternama yang nilainya melebihi rumah bagi sebagian orang. Ada pula sajian
makanan eksklusif dengan harga puluhan juta per porsi, serta perjalanan
keliling dunia yang tampaknya menjadi hal biasa bagi mereka yang beruntung.
Orang-orang dalam lapisan ini menikmati kehidupan duniawi yang serupa dengan
surga, Hingga boleh jadi mereka enggan membayangkan alam keabadian dan berpindah
kehidupan di surgawi bumi.
Namun, di sisi lain,
ada realitas kehidupan yang sangat berbeda. Desa-desa dengan rumah gubuk reyot,
pakaian lusuh yang tak lagi layak, dan makanan seadanya dengan harga tak lebih
dari lima ribu rupiah per porsi. Penghasilan harian yang tak seberapa membuat
mereka harus bekerja keras untuk sekadar bertahan hidup. Setara lima kilogram
beras premium.
Meski begitu, dalam
keterbatasan, mereka tetap menyambut orang lain dengan keramahan dan ketulusan.
Harapan mereka lebih tertuju pada kehidupan setelah mati, dengan keyakinan
bahwa surga akan memberikan kedamaian yang tak bisa mereka dapatkan di dunia.
Perbedaan mencolok ini
menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kesenjangan ini perlu mendapat
perhatian lebih? Haruskah ada Upaya-upaya untuk memperkecil jurang pemisah
antara yang berlimpah dan yang kekurangan?
Dalam sistem ekonomi
yang ada sekarang ini, kekayaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir orang,
sementara sebagian besar lainnya berada dalam keterbatasan. Kemiskinan bukan
hanya persoalan ekonomi, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan struktural.
Sebagian orang
berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak untuk menikmati hasil jerih
payahnya, termasuk dalam bentuk kekayaan dan kemewahan. Namun, apakah orang-orang
superkaya pernah memikirkan realitas kehidupan di luar lingkaran mereka.
Kepekaan sosial bukanlah kewajiban, tetapi lebih kepada panggilan moral. Mereka
yang memiliki privilese bisa berperan lebih besar dalam menciptakan
keseimbangan sosial melalui berbagai bentuk kepedulian, seperti filantropi,
investasi sosial, atau kebijakan yang berpihak pada pemerataan kesejahteraan.
YouTube dan media
sosial telah menjadi ruang yang menampilkan kedua sisi kehidupan ini. Tayangan
tentang kemewahan dan kemiskinan seharusnya tidak sekadar menjadi tontonan yang
menghibur atau mengejutkan, melainkan harus menjadi pemicu kesadaran. Kita tidak
bisa menutup mata terhadap kesenjangan yang ada. Maka, upaya pemerataan
kesejahteraan bukan sekadar utopia, tetapi bisa diwujudkan dengan kesadaran
kolektif dan langkah nyata dari yang memiliki kelebihan.
Pada akhirnya,
pertanyaan tentang perlu atau tidaknya kepedulian terhadap kesenjangan bukanlah
pertanyaan yang sulit dijawab. Manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki
tanggung jawab moral untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan. Bukan
tentang menyamaratakan kekayaan, tetapi tentang memastikan bahwa setiap orang
memiliki kesempatan yang adil untuk hidup layak dan bermartabat. Dengan begitu,
kita tidak hanya menjadi penonton dari paradoks kehidupan, tetapi juga menjadi
bagian dari solusi untuk menciptakan dunia yang lebih berkeadilan.
0 comments :
Post a Comment