Powered by Blogger.
Home » » PARADOKS KEHIDUPAN

PARADOKS KEHIDUPAN

Written By Suheryana Bae on Saturday, February 8, 2025 | 7:35 AM

 


Dalam era digital saat ini, YouTube dan media sosial lainnya menjadi jendela dunia yang memperlihatkan berbagai potret kehidupan manusia. Tayangan tentang kemewahan dan kekayaan berlimpah sering kali berdampingan dengan gambaran kehidupan yang penuh keterbatasan dan kemiskinan. Kontras yang mencolok ini menciptakan paradoks yang mengusik kesadaran atau teror ka Putu Wijaya.

Di satu sisi, kita melihat kehidupan yang bergelimang kemewahan. Mobil-mobil mewah berjejer di garasi yang luas, kapal pesiar dengan fasilitas megah bahkan kolam renang di dalmnya, jam tangan berharga miliaran rupiah, serta tas dan pakaian dari merek ternama yang nilainya melebihi rumah bagi sebagian orang. Ada pula sajian makanan eksklusif dengan harga puluhan juta per porsi, serta perjalanan keliling dunia yang tampaknya menjadi hal biasa bagi mereka yang beruntung. Orang-orang dalam lapisan ini menikmati kehidupan duniawi yang serupa dengan surga, Hingga boleh jadi mereka enggan membayangkan alam keabadian dan berpindah kehidupan di surgawi bumi.

Namun, di sisi lain, ada realitas kehidupan yang sangat berbeda. Desa-desa dengan rumah gubuk reyot, pakaian lusuh yang tak lagi layak, dan makanan seadanya dengan harga tak lebih dari lima ribu rupiah per porsi. Penghasilan harian yang tak seberapa membuat mereka harus bekerja keras untuk sekadar bertahan hidup. Setara lima kilogram beras premium.

Meski begitu, dalam keterbatasan, mereka tetap menyambut orang lain dengan keramahan dan ketulusan. Harapan mereka lebih tertuju pada kehidupan setelah mati, dengan keyakinan bahwa surga akan memberikan kedamaian yang tak bisa mereka dapatkan di dunia.

Perbedaan mencolok ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah kesenjangan ini perlu mendapat perhatian lebih? Haruskah ada Upaya-upaya untuk memperkecil jurang pemisah antara yang berlimpah dan yang kekurangan?

Dalam sistem ekonomi yang ada sekarang ini, kekayaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir orang, sementara sebagian besar lainnya berada dalam keterbatasan. Kemiskinan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga mencerminkan ketidakadilan struktural.

Sebagian orang berpendapat bahwa setiap individu memiliki hak untuk menikmati hasil jerih payahnya, termasuk dalam bentuk kekayaan dan kemewahan. Namun, apakah orang-orang superkaya pernah memikirkan realitas kehidupan di luar lingkaran mereka. Kepekaan sosial bukanlah kewajiban, tetapi lebih kepada panggilan moral. Mereka yang memiliki privilese bisa berperan lebih besar dalam menciptakan keseimbangan sosial melalui berbagai bentuk kepedulian, seperti filantropi, investasi sosial, atau kebijakan yang berpihak pada pemerataan kesejahteraan.

YouTube dan media sosial telah menjadi ruang yang menampilkan kedua sisi kehidupan ini. Tayangan tentang kemewahan dan kemiskinan seharusnya tidak sekadar menjadi tontonan yang menghibur atau mengejutkan, melainkan harus menjadi pemicu kesadaran. Kita tidak bisa menutup mata terhadap kesenjangan yang ada. Maka, upaya pemerataan kesejahteraan bukan sekadar utopia, tetapi bisa diwujudkan dengan kesadaran kolektif dan langkah nyata dari yang memiliki kelebihan.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang perlu atau tidaknya kepedulian terhadap kesenjangan bukanlah pertanyaan yang sulit dijawab. Manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan keseimbangan dalam kehidupan. Bukan tentang menyamaratakan kekayaan, tetapi tentang memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang adil untuk hidup layak dan bermartabat. Dengan begitu, kita tidak hanya menjadi penonton dari paradoks kehidupan, tetapi juga menjadi bagian dari solusi untuk menciptakan dunia yang lebih berkeadilan.

 

0 comments :

Post a Comment